Pages

6 Juli 2011

Perjanjian Dengan Bulan

7 Comments

Malam ini aku bisa melihat sang dewi dibalik tirai kamarku. Bentuknya indah meskipun tidak utuh membentuk wujud aslinya. Berkilauan dan cemerlang bagai sang tokoh utama di dalam drama malam. Sabitnya indah dengan bias sinarnya yang memaksa masuk lewat jendela kamarku. Aku membalas senyumnya dengan malu-malu sambil mengatakan, “Dapatkah kamu membawakanku segenggam bintang untukku malam ini?”
Bulan terdiam mematung. Selendang sutranya berterbangan ditiup angin ufuk. Senyumnya berubah menjadi segaris tanpa makna. Ia berkata, “Tiada bintang di dalam drama malam lagi kali ini, sayang. Hanya aku yang berdiri dengan kain kuning ini yang akan menemani bulir jelitamu. Kamu butuh apa, sayangku?”
Tanpa komentar. Aku turun dari ranjang lelahku dan membuka pintu keluar rumah. Aku tarik selendang sutra bulan dan kuajak dia ke tengah lapang. Ribuan hewan dengan lampu surga mengikutinya dari langit.
“Aku butuh bintang.. Tiada doa lagi selain itu! Aku butuh bintang..” jawabku sedikit kesal.
Bulan turun dari cahya kahyangan. Hewan-hewan dengan sinar berkilau mengitarinya dengan cantik. Suasana pun berubah perlahan menjadi sunyi sendiri. Gulita berubah menjadi senja di pucuk lagu klasik. Datar. Tanpa obrolan. Bulan melingkarkan selendangnya di pundakku.
“Kau tahu, sayang? Bintang telah lama pergi bersama kejora timur pekan sajak lalu. Kamu tak butuh bintang untuk drama kali ini.. Kau butuh aku sekarang. Dan aku, akan selalu menyinarimu dengan sinar teduh dibalik kamarmu. Kurang apa?” Aku menatap nanar dan mencoba mengajak canda ilalang kecil yang aku injak di tengah lapang ini. Sayang, dia tak mengerti bahasa galauku.
“Aku rindu bintang dengan segala sahajanya. Aku ingin menggenggam dan memeluknya erat-erat, dewi. Kau tahu, aku begitu rapuh tanpa bintang menemani malamku kali ini. Siapa yang akan menyanyikan cerita bahagia di masa depanku kelak, kalau tak ada bintang kali ini?” Mataku pedih dan perih. Segores luka memar yang telah lama hilang kini muncul lagi. Lukanya semakin dalam dan menurjam ulung hati yang paling dalam. Sakit.
Dewi mengangkat wajahku tinggi-tinggi. Dia menghapus bulir putih yang turun dari sumber pedih relung jendela. “Kau tak perlu menangisi suatu cerita di masa lalu dengan bulir surgamu ini. Terlalu wangi dan berharga untuk kau buang sia-sia…” katanya. Aku tercekat.
“Masa lalu? Kau tahu apa tentang itu? Kau hanya duduk manis dan menari diatas panggung langit malam. Kau tahu apa??” Suaraku serak menahan luka yang semakin besar. Semakin sakit. Sakit yang sama sekali tidak bisa aku tahan.
“Kamu lupa, sayang? Tiap malam kamu berdoa dibalik tirai lusuhmu kepadaku untuk menurunkan bintang satu tiap malam. Keesokan harinya kamu meminta hal yang sama. Apakah kamu tidak menyadari, sayang, kalau bintang telah lelah menemanimu? Bintang telah habis dalam drama langit hanya untuk melaksanakan doa dari kamu,” jelasnya. Aku mengalihkan muka. Memandang dan memperhatikan langit lekat-lekat. Kosong tanpa cahaya pukau. Hanya hitam dan gelap. Dan dewi malam ini benar. Pandanganku kembali kosong. Kakiku lemah dan ingin jatuh menjemput ilalang kecil dibawahku.
Bulan menopangku. Dia kembali menguatkanku dengan selendang sutra cantik yang ada di pundakku.
“Sayang, kamu sama sekali tak sendiri. Kamu wanita kuat dengan senjata yang tersembunyi dalam jelitamu. Tak pernahkah kamu menyadari bahwa banyak orang-orang luar biasa yang menyayangimu? Tanpa sebutir bintang pun, tanpa sebongkah bintang pun, atau tanpa segenggam bintang pun, kamu bisa menjemput pelangi dibalik air terjun niagara jingga disana. Jangan pernah lemah dan jangan pernah menganggap dirimu lemah. Ada aku disini…” Bulan menghentikan bait jejakanya. Tangan kanannya menyentuh dadaku sebelah kanan. Tepat luka memar itu bermuasal.
“Aku dan sejuta makhluk ciptaanNya takkan pernah letih tersenyum untuk menyemangatimu. Cerita lama dan luka disini hanyalah sebuah pelajaran indah untuk kau simpan dengan hati-hati. Ingat, bintang pun takkan pernah meninggalkanmu walau dia pergi dengan kejora timur. Kami selalu bersamamu…” Bulir hangat ini kembali turun. Basah dan semakin deras. Dewi langsung memelukku erat-erat.
“Jadilah calon bintang yang akan menyinari orang lain di dalam drama panggung langit malam tiap episode. Dan mereka akan memuja dan mengenalmu sebagai sosok bintang memukau dalam lembar ceritanya,” lanjut bulan.
“Dan kau?” tanyaku dibalik isak kecil. Bulan pun menjawab, “Aku akan jadi calon dewi malam yang lebih besar dan istimewa lagi di tiap tahunnya. Tugasku hanya sesuai naskah yang Ia berikan. Tentramkanlah hatimu dalam sejuk pelukan malam ini. Dan kamu yakin, sebuah bibit yang kamu tanam akan merekah dengan indahnya dalam balutan kesabaran..”

* * *
Suatu pagi yang mengakhiri suatu drama kecil. Aku membuka mata dan menyadari mataku telah basah kuyup seperti habis di demo hujan. Ketika akan turun kebawah dan menceritakannya kepada ibu, aku menyadari bahwa aku menggenggam sesuatu. Ku buka perlahan genggamanku dan seutas senyum melesat bagai jet melihat genggam indah berkilau ada di tangan kananku. Bulan mendengarkan doaku semalam dan aku akan menepati janjiku kepadanya.

7 komentar:

andri K wahab 6 Juli 2011 pukul 14.12

widih dapat hadiah apa dari bulan ras ?, bagi dnk ?...*_*

Unknown 9 Juli 2011 pukul 10.53

wow...


#tenggelem


keren banget ini, gak dimasuki majalah ato kumpulan buku2 cerpen gitu?

Unknown 10 Juli 2011 pukul 01.22

salam yach buat bulan

Fairysha 12 Juli 2011 pukul 20.42

bagus ras...suka ceritanya...:)

TS Frima 17 Juli 2011 pukul 00.22

blognya saya follow ya. saya jadi follower ke-40 lho :)

soulful^^~ 22 Juli 2011 pukul 11.09

terima kasih semuaa :D

Posting Komentar