Pages

14 Desember 2012

Mohe

1 Comments



Perkenalkan, namanya Muhesa, anak dari Brownie-kucingku yang berwarna cokelat. Umurnya akan masuk sebulan pas tanggal 15 Desember nanti. Iya, Muhesa lahir tepat 1 Muharam. Karena lahir tanggal segitu, orang rumah memberinya nama Muhesa --Muharam Esa. Yang memberi nama bapakku hehe, katanya meskipun kucing juga wajib diberi nama yang memiliki arti bagus :)

Sebenarnya Muhesa enggak terlahir sendirian, dia lahir bersama dua saudaranya yang lain yang telah meninggal. Yang satu berwarna cokelat seperti Muhesa dan yang satunya lagi berwarna putih --seperti bapaknya. Namun kucing cokelat yang satunya lagi telah meninggal terlebih dahulu ketika baru saja lahir. Waktu itu orang rumah pada nggak tahu kalau si Brownie waktunya bersalin (kucing perlu bersalin juga ya?), dan tahu-tahu tepat jam 12 malam lewat, Brownie sudah melahirkan 3 anak kucing lucu. Orang rumah telat tahunya, dan belum sempat memberikan penyelamatan lanjutan untuk si anak kucing, kucing cokelat pertama meninggal. Keesokan harinya, aku dapat sms dari bapak dan adik kalau si putih juga menyusul si cokelat ke surga. Karena si Brownie ini sifatnya cuek dan kawin sebelum dewasa (belum genap 1 tahun), jadi Brownie belum tahu kapan waktunya menyusui dan menjaga anak-anaknya. Si putih meninggal karena kedinginan di lantai dan nggak diurus sama mboknya.

Tinggal lah Muhesa satu-satunya anak kucing anggora di rumah yang terselamatkan. Setelah ditinggal mati om-nya, Hendra, kucing kampungku yang mati mendadak dengan keadaan tragis (lebay), akhirnya ada penggantinya :D . Senang banget rasanya.. Muhesa jadi hiburan yang gak pernah bosen-bosennya. Aih~ Jadi ingin segera pulang dan menggendongmu, Mohe :)





*Mohe : Panggilan Muhesa

9 Desember 2012

Seribu

0 Comments

Lagi-lagi tanpa nama
Tanpa pula judul di pojok atas kertas
Cuma kumpulan kata yang menciptakan kisah,
Hanya potongan kalimat yang tertangkap dalam kalbu
Kamu menggeleng,
Entah tak setuju, heran, atau tak tahu
Aku tak peduli
Yang jelas,
Ketika surat kemarin malam ku buat,
Yang kini telah kau pegang,
Kau membacanya sambil menyipitkan mata dan tertawa guruh di depanku
Kemudian kau tersenyum di sandarku
Seperti sekarang…

Kamu berkata dengan manja,
“Tepat seribu, dan kau tak perlu meniti surat cinta ini…
Karena sejatinya aku telah mengetahui isinya…”
Kali ini aku peduli dan segera membalas
“Cintaku padamu tak cukup tertulis di perjalanan hidupku, istriku…
Aku ingin menjadikan hiasan terpatri dan terkenang…”
“Kamu terlalu berharga dibanding ribuan surat ini…”