Pages

29 Januari 2016

Rindu

4 Comments

Masalahnya, rindu semakin pekat tak beralasan. Membuat mendung di mega Awan semakin bergemuruh. Bias istrinya semakin jelas. Jarak diantaranya tinggal beberapa langkah saja. Tangannya yang lembut berusaha meraih rambut-rambut halus istrinya, namun percobaan yang sudah ke duapuluh itu menunjukkan hasil yang sama: gagal. 

Awan merindukan istrinya, Dewi. Awan merindukan masakan Dewi. Awan merindukan pelukan Dewi. Awan merindukan tawa bahagia Dewi -berhari-hari Awan melihat Dewi menangis sambil memperhatikan foto pernikahan mereka. Awan merindukan ciuman manja Dewi. Dan Awan merindukan semua dari Dewi.

"Seandainya waktu itu tidak pernah aku ajak bercanda...." desah Awan.

"Seandainya kamu masih ada disini, mas..." ujar Dewi ditengah isak tangisnya.


Seminggu yang lalu adalah ruang waktu yang bahagia untuk mereka menyatukan jari manis dengan cincin yang sama. Seminggu yang lalu adalah cerita pertama Awan melihat istrinya tidur dengan cantik disampingnya. Seminggu yang lalu merupakan kabar terindah karena Awan bisa meminta Dewi untuk selalu dimasakkan makanan favoritnya. Dan seminggu adalah keajaiban Tuhan mereka bisa merasakan bahagia bersama.

Yang kemarin, Tuhan mengambil kebahagiaan itu. Awan dijemput dan dipulangkan dengan mobil ambulance hanya raga. Dan Awan kembali dengan kerinduan yang terbungkus.

 Awan mungkin sering bercanda dengan waktu -dan itu acapkali membuat Dewi kesal karena hobi suaminya yang tak pernah berubah-, tetapi Awan tak pernah mengajak bermain dengan janji.

"Aku datang membawa rindu untukmu, sayang. Aku berusaha disampingmu setiap kamu pudar. Itu janjiku kan, sayang? Meski hanya bias yang membawaku kesini...."

Awan memeluk istrinya dalam-dalam dengan angin. Tiupan rindu itu mengawang dan memecah titik hujan Dewi.

18 Januari 2016

Rinai, Hujan

2 Comments

Sekalinya pun Rinai tahu, yang terjadi adalah dua hal: pertama, semuanya berakhir dan menjadi masa lalu; kedua, semuanya kembali dan mengulang lagi kesedihan, entah menjadi kesedihan yang baru atau kesedihan yang lama.

Rinai bosan melamat angka dalam angka di kalender. Menghitung spasi dan kecepatan detik waktu memakan tiap angkanya. Hari berlari dalam persimpangan hidupnya. Tanpa permisi. Tak membiarkan Rinai berkata "pause" dan berpikir langkah kedepannya harus seperti apa. Umurnya semakin bertambah. Kawanan rekat mulai menyantumkan pertanyaan yang membuatnya semakin mangu, "Kapan kau menikah?".

Rinai berusaha tenang melaluinya. Rinai berusaha mengikuti alur melodi hatinya meskipun kadang-kadang ia sering mengalah karena tak sesuai. Ia berpikir, "Dia yang akan membimbingku. Aku akan ikut pada apapun pilihannya.". Tapi siapa sangka roda jaman semakin menggilas perasaan. Pilihannya sering berganti dan selalu menggantung, membuat Rinai semakin kalu untuk memandang masa depan karena Rinai benci hidup tanpa rencana yang mapan.

Sepuluh tahun lalu ia menemukannya...
Sepuluh tahun mereka melaluinya...
Sepuluh tahun ia bersabar pada apapun pilihannya...
Sepuluh tahun mereka mulai menemukan banyak perbedaan...

Rinai bosan menunggu Surya. Yang ada, selalu, Rinai bertemu Hujan. Membuat kolam-kolam kecil semakin penuh. Selalu.