Pages

21 Desember 2015

"Rumah Tanpa Kamar"

1 Comments

Ini sudah memasuki tanggal 21. Pertengahan Desember 2015. Tiga hari lagi. Tiga hari lagi menuju rumah. Entah perasaan apa yang menggelayut. Sedih iya, bahagia iya. Sudah tidak sabar iya, namun tidak ingin buru-buru jua. Perasaan ini semakin mengembang dan.... entah, rasanya semakin sakit. Dibuat tidur malah menjadi-jadi tidak bisa tidurnya. Pikiran entah kemana terbangnya. Semuanya tumpah ruah dan menjadi sensi.

Seharusnya bahagia...
Seharusnya bahagia...

Titik-titik embun meluncur disuatu malam. Tak terbendung. Tak tertahan. Semuanya pecah ruah dan mengecewakan. Sepertinya benar kata orang lain, jika suatu keinginan yang ditahan dan orang lain menyuruhmu untuk sabar sampai suatu waktu yang tak ada ujungnya, kamu tidak akan pernah percaya lagi dengan yang namanya sabar. Mungkin lelah. Janji tetaplah janji, tidak akan pernah terbayar.

Itu rumahku. Rumah kecil milik orang lain yang dititipkan pada kami. Bukan seenaknya kami bisa memindah barang disini sesuka kami. Hanya dititipkan. Dan aku sepertinya mulai lelah mendengar kata dititipkan. Yang berarti bukan hakku. Tidak ada ruang untukku. Tidak ada nafas luang untukku. Tidak ada kamar untukku. Kami saling berbagi kamar. Kami saling berbagi bantal dan guling. Kami saling berbagi pelukan. Dengan semuanya. Dengan suara dentuman jam, air, cicak, tetangga yang sedang bertengkar, ataupun anak tetangga yang sedang menangis.

Aku mungkin egois, berharap Tuan mendengar keinginanku dan mengabulkannya. Detik ini juga. Tapi apalah aku... yang hanya bisa meminta. Jikalau aku bermimpi memiliki pengganti impiku, aku mungkin akan egois memakainya sendiri, bukan untuk keluargaku. Mungkin ini dari kelelahanku bersabar. Mungkin ini dari kelelahanku menabung impi.

Itu rumahku. Tidak ada jendela yang bisa mewakili tuk bilang "Hei itu kamarku!". Tidak ada duniaku yang tersimpan dalam kotak kenangan. Mungkin aku bisa bahagia, atau mungkin aku bisa lebih bahagia. Demi mereka.





Regards,
Aku.