Peringatan itu emang kudu seharusnya ditepati. Kalau kata orang tua, peringatan itu adalah suatu warning yang dikasih Tuhan untuk kita agar nggak melanggar. Kalau semisal peringatan itu dilawan, ya lihat saja, selalu aja dapet sial yang bertubi-tubi. Nah, tapi masalahnya, yang percaya soal begituan cuma orang tua atau orang jaman dulu. Bagaimana dengan anak jaman sekarang? Nah ini ada cerita tentang anak muda yang ketimpa sial begitu enggak menuruti kata hati atau peringatan yang diberi Tuhan. Dan lebih complex-nya, anak ini memasuki daerah yang seharusnya enggak dia masukin. Pada bignung kan? Here goes, mari kita baca bareng-bareng disini.
Suatu hari di kampus yang cerah, sebut saja anak ini namanya Chaca, berlari terbirit-birit begitu melihat jam pink di tangannya sudah menunjukkan pukul 08.36. Iya, mata kuliah Chaca hari ini dimulai pukul 08.30. Meskipun ada sms dari temannya yang mengatakan bahwa dosennya belum datang, tetapi hati Chaca sama sekali enggak tenang kalau belum lihat dengan mata kepalanya sendiri.
Begitu sampai di kelas, dia baru bisa tenang begitu melihat apa yang dikatakan temannya itu benar. Dia berjalan dengan loyo plus lunglai ke salah satu meja komputer. Duduk, ambil nafas, buang nafas, ambil nafas, buang nafas lagi. Begitu seterusnya hingga ia merasa sangat lega. Kakinya dipukul-pukul bagian pahanya karena Chaca hari itu benar-benar merasa sangat capek sekali. Begitu sudah agak tenangan, dia mulai mengajak ngobrol teman disebelahnya. Ngobrol ngalur ngidul.
Satu jam, dua jam berlalu dan ternyata eh ternyata, seorang dosen yang diharap Chaca mengajar hari itu tidak datang. Dongkol langsung menyeruak dalam benaknya. Padahal sudah dibela-belain lari dari angkot, enggak menghabiskan nasi goreng buatan sendiri (suwer rek, masak dewe haha), dibelain apa sajalah, ternyata dosennya gak datang, batinnya marah membabi buta. Ah untungnya marahnya waktu itu segera reda begitu diajak temannya ngobrol dan cari tanda tangan buat persyaratan beasiswa.
Setelah selesai urusan dengan beasiswa, Chaca dan ketiga temannya kembali ke gedung kampusnya, mencari dosen mata kuliah terakhir. Dan ternyata eh ternyata, begitu akan memasuki lab komputer untuk mata kuliah selanjutnya, si dosen datang dan bilang tidak bisa mengajar hari itu. sontok semua teman Chaca langsung senang, ber-hip hip hura. Tetapi hal itu malah membuat Chaca bingung. Pikirannya ruwet seketika. “ Aku kemana ini.. Masa langsung pulang? Males banget..” Bibir monyong lima senti langsung terbentuk.
Chaca punya ide cemerlang. Dia sms temannya yang kebetulan nge-kost dibelakang kampus buat bilang mau ndekem disana sampai jam lima sore, sekalian menunggu seseorang pulang. Tentu si temannya yang berbaik hati itu mengijinkan, kebetulan emang sudah sering Chaca dolan dan menjadikan tempat itu sebagai basecamp kalau kuliah pulang cepat dan malas untuk pulang. Dan ternyata, si temannya itu lagi berada di kost temannya juga yang enggak jauh jaraknya dari kampus. Bergegas, Chaca menghampiri mereka. Nunut tidur setengah jam, cerita ini-itu.
“Cha, kita nanti ada kuliah lagi jam satu.. Kamu gimana?” tanya temannya.
“Wah iya tah? Duh gimana dong..” Ekspreksi muka langsung sedih lagi.
“Kamu sms aja teman sekamar kostku. Mungkin dia uda pulang!” usul temannya. Chaca semangat lagi dan secepat kilat sms teman sekamarnya temannya itu. Dia langsung berlonjak senang setelah mendapat balasan bahwa yang di sms pulang jam 1.
Jam 1 datang, teman-temannya meninggalkan Chaca sendirian menuju ke kost tujuan semula. Untung Chaca sudah akrab dengan teman sekamar temannya itu, kalau enggak, mungkin dia bingung bakal kemana lagi. Sepertinya dia benar-benar serius ingin menunggu jam 5 selesai. Entah apa yang ia tunggu, tapi yang dipikirannya saat itu dia harus menunggu sampai jam 5 selesai, apapun caranya.
Di dalam kost, Chaca mulai asyik sendiri. Memakai headset dengerin radio, tidur-tiduran, bolak-balik posisi tidur, kemudian bangun lagi. Ternyata Chaca enggak bisa tidur. Gimana bisa tidur, satu ranjang dipake orang tiga sekaligus. Mana komposisinya gak rata gitu, jadi Chaca dapet posisi mojok. Ya, sabar ajalah, demi jam lima, batin Chaca. Emang nasib sebagai perkelana, harus nrimo apa yang sudah dikasih sama yang Diatas. Emang nasib jeleknya Chaca sih, ternyata di dalam sudah ada temannya si teman sekamarnya temannya Chaca (walah ruwet). Jadinya ya.. cuma.. pasrah!
Detik demi detik dilewati Chaca dengan sabar. Hingga pada akhirnya jam tiga sore datang. Bebarengan dengan doanya agar waktu berjalan cepat, sosok kedua sahabat Chaca tiba-tiba muncul dibalik pintu kost-kostan. Chaca langsung senang bukan main.
“Aku habis gini mau ada rapat UKM USMA. Ikut tah, Cha?” tanya salah satu temannya.
“He gak apa-apa tah aku ikut? Ngawur ae..” solot Chaca.
“Enggak apa-apa neng. Wong yang ikut loh banyak. Enggak mungkin-lah ada yang kenal kamu..” jawab temannya satunya lagi. Chaca bimbang. Tetapi setelah diombang-ambing kebingungan diantara kedua temannya yang terus setengah memaksa, akhirnya Chaca ikut mereka, meskipun Chaca bukan salah satu anggota dari UKM USMA tersebut.
Ketika akan sampai di tempat rapat, Chaca langsung gugup lagi begitu dia melihat banyak orang disana. “Aku bener enggak apa-apa ikut tah rek? Kalau ada yang kenal aku gimana? Dikira penyelusup terus aku dihajar masa orang sebanyak itu bisa mampus aku..” kataku ditengah keheningan.
Temannya tertawa ngakak, “ Yo enggak mungkinlah, Cha. Wes talah nyantai ae. Gak perlu salting gitu talah. Ikut duduk dibelakang sama aku, gak perlu ngapa-ngapain kok.” Jawab salah satu temannya.
“Enggak wes, aku nunggu kalian disini saja ya?” pinta Chaca sambil menunjuk kursi taman yang letaknya tidak jauh dari tempat rapat.
“Kamu mau tah duduk sendirian disini?” tanya temannya kompak. Chaca diam sambil memandang sekitar. Dia merasakan detak jantungnya berdetak luar biasa. Ini bukan hal seperti biasanya yang dia lakukan, ikut rapat diluar UKM yang dia ikutin seperti penyelusup yang masuk yang ingin tahu rahasia sesuatu dari UKM tersebut. Tetapi hatinya bimbang, mengingat dia tidak bisa diam begitu saja menunggu hingga jam lima lewat, sedangkan jam masih jam empat. Akhirnya dengan ragu-ragu, Chaca mengangguk dan mengikuti kedua temannya dari belakang. Setetes demi tetes keringat keluar dari badannya karena saking saltingnya.
Menit pertama aman terkendali karena tiada seorang pun yang mengenali dirinya di dalam forum rapat tersebut. Tapi yang namanya Chaca, jika hal itu bukan haknya dan bukan menjadi kebiasaannya, dia selalu merasa canggung. Apalagi ini seperti penyelusup yang… sama sekali enggak canggih. Jantungnya terus berdegup kencang, keringatnya terus bercucuran, tingkahnya banyak, dan sama sekali enggak mau memperhatikan kearah siapa yang berbicara karena ia takut ada seseorang yang mengenali dirinya. Dia terus menundukkan kepala sambil memegang tangan temannya. Pintanya cuman satu, semoga waktu berjalan cepat.
Sampai pada akhrinya, salting Chaca terhenti begitu seseorang yang arahnya dari depan, menyebutkan ciri-cirinya. “Coba kamu, yang pakai kacamata merah pakai baju batik.” Deg. Jantungnya mendadak langsung terhenti. Dia mencoba menoleh kebelakang, berharap orang yang disebutkan ciri-cirinya oleh suara yang di depan ada disana. Tetapi salah perkiraannya, orang di depan itu yang tak lain adalah senior dari UKM USMA, memanggil dirinya. Chaca semakin erat memegang tangan temannya.
“Apa kamu sudah paham sama yang dijelaskan tadi?” tanya orang itu. Karena Chaca bingung, akhirnya Chaca menjawab, “Iya paham”. Tetapi itu tidak sampai disitu saja. Si pembicara membuka mulutnya lagi, meneruskan pembicaraan.
“Coba kalau kamu paham, jelaskan apa tadi yang diomongkan.” Katanya kemudian.
Deg. Deg. Deg. Jantung Chaca seakan berjalan lamban. Dia berusaha menenangkan dirinya, tetapi tetap saja tidak bisa. Dia bingung mau jawab apa karena dari tadi dia sama sekali tidak mendengarkan orang yang di depan ngomong. Mau mengakui kalau dia bukan anggota UKM USMA? Wah minta dihajar masa kalau mau jadi pahlawan di siang bolong gini. Mau kabur juga enggak mungkin, karena semua mata telah menatapnya. Ampun.. Chaca tidak bisa berbuat apa-apa. Skak match!
“Enggak bisa menjelaskan kan kamu? Makanya perhatikan dan serius kalau rapat. Dari tadi saya lihat kamu menunduk saja, enggak lihat orang di depan ngomong…”
“Sudah, untuk sekarang enggak apa-apa. Tapi untuk lain kali, jangan seperti ini lagi. Kalian semua setuju??” kata mas di depan. Sontak semua orang di dalam forum itu berteriak SETUJUUU dengan nyaring. Dan bagaimana dengan Chaca? Yang dilakukannya adalah cuman diam memandangi nasib yang benar-benar sial hari itu dengan nestapa.
Kedua temannya hanya bisa memandangi Chaca dengan prihatin. Mungkin ingin menolong, tetapi apa daya tak ada kekuatan untuk menolongnya.
Hingga pada akhirnya, disuatu waktu yang agak mulai longgar, disaat pembagian sie dan koordinator, temannya memberi usul untuk keluar sekarang. Chaca setuju. Dan setelah si teman ijin untuk keluar, dua ratus meter dari jarak tempat rapat itu, mereka berdua tertawa terbahak. Khususnya si Chaca, menertawakan diri sendirinya yang SANGAT AMAT TOLOL.
“Wes gak maneh nduk, nggak maneh! Enggak maneh masuk lubang yang salah! Enggak maneh jadi teroris dadakan! Kapok! Gak maneh! Wukakakakakak!!” kata Chaca kepada sahabatnya sambil berjalan menuju halte depan kampusnya untuk menemui seseorang.
* * *
Jangan pikir ini adalah sebuah cerita lesan biasa yang saya dapat idenya dari hasil ngelamun di siang bolong. Bukan, jangan salah! Ini adalah cerita fakta yang dialami saya sebagai penulis disini.
Ya ya ya, demi untuk bertemu seseorang yang sebulan enggak lama ketemu akibat liburan semester, semua cerita ini bermula. Akhir doa untuk penutup tulisan ini adalah: Semoga orang-orang UKM USMA sama sekali tidak hafal dengan wajah si pemakai kacamata merah berbaju batik tadi. AMIN YA ROBB..
0 komentar:
Posting Komentar