“Cempluuuuuuuk! Cepat kemari! Bantu ibu goreng ote-ote ini. Jangan sms-an aja toh nduk!” teriak seseorang yang menghentikan tawaku. Aku melongok keujung pintu kamar dan mendapati ibuku yang berlumeran keringat di dapur sendirian menatapku seperti elang siap menghardik mangsanya dari jauh. Ah, please deh, jangan lagi, batinku. Liburan sekolah juga harus berkeringat juga untuk membuat ote-ote? Dengan lunglai aku menaruh kembali handphoneku di kasur dan berjalan menuju dapur dengan muka masam.
“Kowe iki nduk, jadi perawan kerjaanmu sms-an tooook ae. Gimana mengko calon suamimu, ha? Enggak kamu masakin malah kamu tinggal sms-an juga!” omel ibu lagi.
“Iya-iya bu. Ini lho uda aku bantu..” Ya, selalu saja begini. Dan yang aku lakukan hanya pasrah dan tiada sama sekali perlawanan yang ingin terucap dari bibirku. Mungkin karena itu ya, orang-orang bilang aku adalah cewek penurut orang tua yang katanya orang jawa enggak begidalan kayak anak orang tua lainnya yang sering ngeluh sama ibu. Makane yo, ibu begitu membangga-banggakan aku di depan semuanya, termasuk ketika aku diterima kuliah di Malang.
Perkenalkan dulu, namaku Shinta Aryaningtyas. Tunggu dulu, sebelum semuanya bertanya darimana ibuku memanggilku dengan sebutan nama ‘Cempluk’, lebih baik aku yang akan menjelaskannya kepada kalian terlebih dahulu. Iya cempluk, sebuah nama yang aku sendiri enggak tahu-menahu darimana nama itu berasal dan mengapa diberikan kepadaku. Kalau dipikir-pikir, Cempluk bukan juga diambil dari nama Jawa (maklum, ibuku adalah uwong jowo tulen), bukan juga sebuah singkatan yang diambil dari namaku: SHINTA ARYANINGTYAS. Dari tujuh belas suku kata itu, sama sekali depannya enggak mengandung huruf “C” untuk mengawali kata ‘Cempluk’.
Sejak kecil, sebenarnya aku juga enggak dipanggil dengan julukan yang memalukan itu. Ibu dan bapakku sudah biasa memanggilku Shinta, atau kalau lagi muedok-muedok-nya, mereka cukup singkat memanggilku ‘nduk’ dari kata ‘genduk’, sebutan untuk anak perempuan di Jawa. Tetapi entah mengapa, sejak aku sibuk-sibuknya kuliah di Malang, dan terhitung sejak tiga hari yang lalu aku pulang ke kampung halamanku, Blitar, ibu dan ayah yang habis dengan puasnya memelukku sampai aku susah bernafas langsung memegang pipiku dan menarik-nariknya seperti menarik balon yang bisa melar. Setelah itu, bukannya membawakan masuk barang bawaan anaknya masuk ke rumah, bukannya juga menanyakan bagaimana kabarku disana, eh dengan kompaknya mereka bertanya, “Nduk, pipimu kok kayak bakpo yo saiki? Makanmu akeh yo di Malang?” Pingin lompat saja ke sungai yang deras disebelah rumah rasanya, setelah dengar omongan bapak-ibu tadi. Dan entah apa yang merasuki raga mereka, keesokan harinya mereka memanggilku ‘Cempluk’. Oke guys, kalian boleh tertawa sekarang, huh.
Kembali lagi ke dapur yang panas..
Oke, kadang aku terheran-heran juga sama kondisiku yang sama sekali enggak pernah mau memberontak ataupun protes dengan semua perintah dari orang tuaku. Apalagi ini nih, uda parah, seenak-enaknya sekarang mereka berdua memanggilku ‘Cempluk’. Uda jelaslaaaah, nama Shinta itu bagus dan lebih merdu di dengarkan di telinga daripada Cempluk. Hm, mumpung ibu lagi asyik memotong-motong wortel dan sikon sangat baik untuk berbicara dari hati ke hati, sepertinya bagus deh buat memulai protes. Eh tunggu dulu, bagaimana aku memulainya? Otakku berpikir keras untuk memikirkan hal ini sambil tangan terus bekerja untuk memasukkan adonan ote-ote ke wajan.
Dan akhirnya… “Bu.. Shinta mau ngomong..” Ibu berhenti sejenak dari aktifitasnya. Beliau meletakkan pisau dan wortel kemudian menatapku dengan terheran-heran. “Ada apa, mpluk?” jawabnya. Aku mematikan kompor dan mendatangi ibu.
“Ngg.. Shinta enggak suka bu, dipanggil Cempluk. Shinta lebih suka dipanggil sesuai dengan nama. Gak apa-apa deh manggil genduk, tapi jangan Cempluk. Shinta enggak suka..” kataku kemudian. Alhamdulillah, lancar juga ngomongnya hehe.
Ibu tertawa kecil mendengarkanku, “Loh, ono opo toh emang’e nduk? Kan nama Cempluk apik toh, lucu. Jarang-jarang loh ada orang tua yang manggil anak’e Cempluk haha,” balasnya dengan melanjutkan tawanya lebih keras. Aku memanyunkan bibir, bibir terseksi yang aku miliki satu-satunya. “Yaaaa, tapi kan, Shinta enggak suka. Itu nama apa sih, enggak berkelas banget! Kan bagusan Shinta, S-H-I-N-T-A!” jawabku lagi membela diri.
Ibu terdiam, memandangiku dari atas kebawah. Setelah itu, seutas senyum muncul diantara kerutan wajahnya yang mulai banyak. Ibu kemudian membawaku masuk ke dalam kamar, tepatnya kamar ibu dan bapak. Di hadapan sebuah cermin yang sangat panjang, ibu menyuruhku memandangi sesuatu di hadapanku. Ha, memandangi diri sendiri? Untuk apa?
“Nduk, coba deh, perhatikan. Ada sesuatu nggak, yang berbeda dengan dirimu?”
Aku menuruti kata ibu, memperhatikan secara detail sosok tubuh ramping di dalam cermin. Eh sebentar deh, apa kataku tadi? Ramping? Buru-buru aku menggelengkan kepala begitu aku menyadari ada sesuatu yang mengganjal diantara timbunan lemak di perutku. Oh tidaaaaak, aku mulai gendut!
Sepertinya ibu memperhatikan ekspresi mukaku yang kaget atas perubahan drastis pada diriku sendiri. Beliau tertawa kecil. “Nah, saiki perhatikan wajahmu sing ayu iki..”
Kembali aku menuruti apa yang diucapkan ibu. Aku maju ke depan seakan menantang seseorang yang ada di dalam cermin. Pelan-pelan aku memegangi jidat, kemudian pipi, kemudian.. Hei, stop dulu. Kenapa pipiku lebih tebal sekarang? Hidungku yang memang aslinya pesek jadi semakin mendelep gara-gara kebalap sama pipi ini. Argh tidaaaaak, pipi bakpo!
Aku memanyunkan bibir lagi.
“Nah, sekarang tahu kan, kenapa bapak ibu manggil kamu Cempluk?” Ibu tiba-tiba merangkulku dan memandangi wajahku yang kusut setelah mendapati perubahan yang amazing pada diriku. Aku mengangguk lemah, masih dengan wajah kusut dan bibir manyun. Melihatku yang makin cemberut, ibu mengajakku duduk di kasurnya yang empuk. Tangannya mengangkat wajahku yang layu, kemudian menarik ujung-ujung bibirku sehingga dengan terpaksa bibirku tersenyum.
“Uda toh, kenapa perlu disesali kalau kamu saiki gendut?”
“Ya kan berarti, Shinta makin jelek bu…”jawabku polos. Ibu cekikikan.
“Oalah toh yooo.. Sopo seh sing bilang, anak ibu iki welek? Gak onok, nduk, cuma perasaanmu aja..”
“Ya tapi kan…”
“Hei, mpluk, coba denger nggih ibu ngomong. Orang gendut itu gak berarti jelek. Dan coba lihat dirimu iki. Awakmu iki ora gendut-gendut banget, enggak koyok mbak Asri tetangga kita yang sampai lari-lari badannya ikut semua. Gendutmu iku masih normal, enggak gendut banget..” Aku masih terdiam, senduh.
“Heee.. sek eling ora. Biyen sopo sing njaluk badannya supaya gendut?” Ibu tersenyum usil. Reflek, aku menarik ujung kanan bibirku.
Melihat peluang untuk membuatku tertawa, ibu makin menjadi-jadi goda aku. “Biyen sopo hayo.. Sing mesti bilang, ‘aduh, aku kok kurus sih. Enggak gemuk-gemuk. Kalau kayak gini ya ndak dapet cowok terus aku’. Hayo siapa yang sering bilang gitu ke ibu??”
Tidak kuat menahan tawa, akhirnya aku tertawa juga. “Hahahaha. Ah ibu curang, ngingetin aku sama jaman suramku dulu. Ah tapi kan, Shinta uda punya pacar, bu.. jadi…”
“He opo? Wes duwe pacar kamu, nduk? Oh ngono yo, nang Malang ndak malah sinau sing nggenah malah nggolek pacar…” kata ibu tiba-tiba sambil berkacak pinggang. Dalam seperkian detik, aku langsung mingkem mulut rapat-rapat dan memperhatikan wajah ibu lekat-lekat. Ah enggak seru ah, masa tadi habis guyon-guyon kok tiba-tiba serius lagi, marah-marah lagi. Eh tapi kok, kenapa mulut ibu seperti menelan cicak? Kenapa matanya tiba-tiba menyipit? Eh eh, kok tiba-tiba ketawa ngakak? Aku makin bingung dan ibu makin puas menertawaiku diatas kebingunganku.
“Wah, genduk ibu pinter ya. Haha yo ngunu nduk, nggolek pacar, biar kamu ndak sendirian disana. Tapi inget lho ya nduk, kuliah nomer siji. Awas yo kalau kamu nakal-nakal sama pacarmu..” cuap ibu disela-sela tawanya. Aku tersenyum dan pelan-pelan alis yang mengkerut karena kebingunganku tadi memudar. Seperti matahari yang menyinari suatu subuh di pagi hari, di tengah gelap dan pelan-pelan menjadi terang benderang, wajahku langsung merekah melihat ibu ternyata (lagi-lagi) menggodaiku.
Aku langsung memeluk ibu erat-erat sambil berkata, “Enggak aneh-aneh kok bu. Pacar Cempluk juga dari desa. Orangnya polos dan sederhana. Kita uda buat komitmen untuk saling mementingkan kuliah. Tapi ya…” Aku melepaskan pelukan dan menundukkan kepala. “Tapi yoopo toh nduk? Lagi onok masalah tah?” tanya ibu perhatian. Aku menggeleng lambat.
“Terus?” tanya ibu lagi.
“Kalau jarak jauh kayak gini.. Cempluk jadi makin kangen sama pacar Cempluk. Wuakakakakak.” Ibu langsung nggelitikin aku, membalas tingkahku yang usil itu.
“Oalah.. Cempluk Shinta iki nakal kok. Njaluk di kelitikin ancen yo…”
Ditengah tawa bersama ibu di kamar, semerbak bau sawah yang kebetulan bersebelahan dengan rumahku merasuk ke hidung. Sawah.. sepertinya selain kangen dengan pacar, aku juga kangen main di sawah bapak. Kejar-kejaran sama burung, poto-poto sama Upik, tetanggaku sing seneng pakai sewek kemana-mana. Oh iya, kangen juga jualan ote-ote buatan ibu ke para petani di sawah.
Oke, lanjut bikin ote-ote lagi ah..
0 komentar:
Posting Komentar