Pages

30 Mei 2011

Anak Kost

5 Comments

Hidup anak kost,
Jauh dari perantauan dan kasih sayang
Melalang buana memasuki setiap jengkal kehidupan
Tiada kenal siapapun, kecuali mengenal waktu dan akibat

Hidup anak kost,
Terang dalam pelita disudut kota besar
Teringkup dibalik hingar bingar
Tetapi selalu terobsesi akan kesuksesan
Kecil peluang,
Besar akibat jatuh

Hidup anak kost,
Berbinar merekah molek matahari
Layak bintang yang selalu redup dan terang berganti malam..
Tetap hidup walau harus menahan lapar sehari sekali
Tetap bernafas walau harus tidur di kamar yang sempit terikat beban
Tetap semangat walau harus kelelahan melawan tugas yang terus menggempur
Mendaki aral diatas gunung bintang jutaan
Memetik angkasa dengan peluh keringat sekarung
Esok akan sukses,
Meski kini harus terkuras segalanya

Hidup anak kost,
Selalu merdeka diawal bulan
Dan selalu melayu diakhir bulan
Ujung penantian rasa berabad
Melawan teriakan cacing perut dengan sebungkus mie rebus di tiap sarapan dan makan siangnya
Jika dompet telah lusuh dan mengkerut,
Cukuplah makan tahu isi atau menjes goreng untuk penyemangat malam ini
Ditengah letusan aspirasi yang meledak-ledak
Dan di hamparan neon di tirai redup lampu kamar
Menikmatinya cukup dengan air bening hangat
Sangat puas untuk kawan bercinta dengan buku malam ini

Hidup anak kost,
Gempita ria menjemput liburan
Menjemput dengan buru transport tercepat menuju kampung kerinduan
Setelah sampai, peluh penantian usai sudah
Walau cuma sedetik pelukan, sudah mengobati tumpukan nafsu rindu membabi buta
Melihat semuanya lengkap
Berkumpul ditengah arena hangat
Membaur haru biru dengan canda
Dan mereka mendengarkanmu berklasik cerita dengan fantastis

Hidup anak kost,
Selalu menarik dalam sudut cerita syair
Kerinduan teramat dalam ketika semuanya lepas..
Ah, mungkin semuanya ingin aku balik lagi halamannya ketika waktu telah usai..
Dan selanjutnya aku akan berterima kasih pada pengalaman

25 Mei 2011

18 Mei 2011

7 Comments

adzan subuh meradang..
secercah harapan meraung dalam dada
ingin bangkit dalam mimpi, tetapi ragaku tertahan
rasa sungguh ingin memutus waktu ini pun telah bulat,
tetapi semuanya sia setelah alarm pagi itu mengoyakku


"mbak bangun.. ayo siap-siap balik lagi ke malang"


deg.
tega nan apa guna rasanya,
sesal tiada akhir mengapa aku begitu luluh pada suara seberang
begitu menggelegar dalam nadi hingga aku pun akhirnya sadar
dengan lunglai layak kapas aku menuju kamar air sadar...


aura subuh masih bisa aku sentuh dalam kelabu
tepat kini aku tegak dengan beban di punggung, aku benar-benar masih bisa memeluknya
sayu dan lelah rasanya, ingin sekali tetap melingkar pada tempat ini
tempat sejarahku terbentuk
dan aku sama sekali tak ingin meninggalkannya
ah, andai punggung ini mampu membawa semua yang terlukis disini...


"sudah siap mbak? ayo bapak antar sampai bungurasih"


kedua kalinya aku takluk pada suara itu,
walau kalut dan takut, aku berusaha menarik ujung-ujung senyumku
kaki ini sakit sekali rasanya ketika ia menarik genggamku
dia menarikku ke ujung gubuk
gubuk jendela asam manisku


aku seakan kuat walau sebenarnya lemah
aku seakan menang dalam kompetisiku walau sebenarnya kalah
tetapi karena dia, semua rahasia dalam sebuah rahasiaku akan aku menangkan


semuanya mengayunkan tangan
mengucapkan salam perpisahan
dengan senyum menggantung aku menjawab tawar garam mereka
dan pedih sekali rasanya saat garam itu aku telan dalam-dalam..
pahit


fajar dan sepoi subuh tersenyum padaku 
mereka berharap aku membalas kebahagiaan pada calon pagi yang berkilau
percuma, kataku
awan gelap sudah menepi diujung mataku
sebentar lagi pasti akan badai hujan besar


tinggallah aku dan sajak sekarang
dengan semua kenangan dalam sejarahku
disana..
di kota mana aku terbentuk dengan mimpi dan sejuta sayang

22 Mei 2011

Pesan mampir

5 Comments

"aku tak mudah untuk mencintai
aku tak mudah mengaku ku cinta
aku tak mudah mengatakan
aku jatuh cinta
senandungku hanya untuk cinta
tirakatku hanya untuk engkau
tiada dusta sumpah ku cinta
sampai ku menutup mata
cintaku sampai ku menutup mata.."

Semuanya sudah pada tahu ini adalah lagu dari Acha Septriasa-Sampai ku Menutup Mata. Bukan tanpa sebab aku menulis beginian. Bukan juga karena aku ngefans banget sama Acha dan hafal diluar kepala lirik lagu ini --hha, jelas-jelas aku tadi copas dari website lain :p
Nggak, aku tetap fans setianya Sheila on 7, hehe, dan gak bakalan ganti band lain buat gantiin lagu favorit saya :)

Reff dari lagu itu sebenarnya gak begitu berarti. Hmm tetapi mendadak tadi pas diam dan melamun di sore bolong, aku tiba-tiba teringat sama lagu ini. Ya, lagu ini persis banget sama keadaanku, sifatku, dan kebiasaanku. Aku tak mudah untuk mencintai, aku tak mudah mengaku ku cinta, aku tak mudah mengatakan aku jatuh cinta.

Right, cinta itu menurutku itu ribet. Susaaaaah banget cari cowok yang murni mencintai, bukan mempermainkan cinta. Apalagi di jaman edan kayak sekarang, bagai mencari jarum ditumpukan jerami. Bener nggak?

Oh iya, by the way, kemarin teman-teman apa ada yang sempat main-main ke Malang nggak? Mulai hari kamis sampe Minggu sekarang ada Malang Tempo Dulu lho.. Seru banget lho acaranya. Rame bejibun gila! Malang sudah kayak bah manusia, macet dimana-mana (terutama daerah jalan Ijen dan sekitarnya). Disana jual beraneka makanan dan barang-barang jaman dulu lho. Wah sayang, aku gak ngambil foto sama sekali disana, soalnya gak punya kamera poket. Meskipun hape ada kameranya tapi sama sekali gak bisa dipindah ke laptop buat dibagi bareng sama teman-teman. Hiks hiks. Untung si pacar dengan baik hati mempotret aku pakai hapenya yang bisa dipindah ke laptop. Tapi sayangnya aku belum minta filenya nih. Hm ditunggu saja ya teman-teman, segera di posting kok kalau sudah dapet :)

Oke deeh, sekian dulu postinganku. Hehe maaf gak pernah update postingan, jarang banget online sekarang. Ketambahan mondar-mandir gak jelas dan tugas yang seabrek. Masyaallah (-.-) . Tetat semangat ya semua teman blogger. Keep writing :)


15 Mei 2011

LELAKI PERKASA

13 Comments

Lelaki Perkasa itu bukan terdiri oleh daging yang berotot dan badan yang kekar,
Percuma dengan tubuh itu semua jika aku tak mencintainya,
Jelas dia bukan Pria Perkasa-ku


Lelaki Perkasa itu bukan juga terdiri oleh tampan yang rupawan layaknya Brad Pitt.
Percuma dengan wajah rupawan layaknya princess charming kalau dia tidak sholeh dan tidak beriman,
Dia jelas bukan Pria Perkasa-ku yang aku cintai


Lelaki Perkasa itu bukan memiliki badan yang besar seperti kingkong..
Meskipun dalih-dalih dia ingin melindungiku, tetapi percuma kalau dia ingin melindungiku cuma untuk menarik simpatikku dan tidak tanggap dengan kehidupan drama Tuhan yang lain,
Sudah amat jelas, dia bukan Pria Perkasa-ku yang selalu aku dambakan


Pria Perkasa itu simpel, bukan ruwet ataupun ribet.
Dia selalu ada di saat kapanpun aku butuh, dalam keadaan suka, duka, senang, dan bangkrut sekalipun
Dia bisa memposisikan dirinya dalam keadaan apapun.. karena memang dia adalah Pria Perkasa yang hebat luar dan dalam
Dia bisa tegar, setegar lautan dan sekuat pilar masjid
Tidak akan pernah jatuh walau keadaan apapun dan selalu menyanggah aku ketika aku akan ambruk
Dia akan tetap satria duniaku, meskipun aral melintang maupun hujan badai mengguyurnya
Dia takkan pernah menangis, kecuali pada sang Tuhannya diatas kain ikrar denganNya,
Dia takkan pernah mengeluh, kecuali pada semestanya
Dia akan tetap jadi Pria Perkasa yang benar-benar perkasa, bukan peremuk asa..


Pria Perkasa bukan cemen, tetapi kuat. Sekuat ia melebar sajadah langit,
Pria Perkasa bukan meledak seperti halilintar ketika amarah menghantam elegi relung putihnya, tetapi dia akan menebar kesadaran dalam tubuh dan kembali menetralkan hitam menjadi putih,
Dia pelindung.. bukan penyakit yang buat sakit,
Dia tembok besar.. bukan tembok yang penuh ilalang yang mengikat jiwani yang lain


Sayang seribu sayang,
akankah ada Lelaki Perkasa seperti itu selain ayahku di dunia ini?

14 Mei 2011

Catatan Orang Galau

5 Comments

Jodoh. Satu kata itu nggak akan pernah terpisahkan dari manusia. Semuanya pasti tahu, jodoh itu ditangan Tuhan. Jadi, bagaimana pun kita berharap, ujung-ujungnya pasti kita disuruh pasrah dan yakin, bahwa jodoh kita adalah jodoh yang terbaik yang dikasih Tuhan untuk kita. Jodoh itu juga sebuah misteri, misteri Tuhan yang sama sekali nggak pernah kita ketahui darimana dia datang dan bagaimana ceritanya. Seperti layaknya dalam Islam, ada 3 perkara yang menjadi rahasia untuk umatNya, yaitu, kelahiran, kematian, dan jodoh. Tetapi entah mengapa ya, saya kok merasa gelisaaaaah sekali mendengar kata-kata JODOH itu. Padahal dalam kitabNya, Allah sudah menjanjikan pada kita bahwa jodoh yang diberikan adalah yang terbaik. Gak tahu kenapa..

Begini begini, saya jelaskan ya gelisahnya saya. Saya sering banget denger cerita kalau ada sepasang kekasih yang sudaaaah lama banget pacarannya, sampai bertahun-tahun, akhrinya kandas ditengah jalan. Ada yang lebih parah lagi.. Sudah tunangan, terus mau nikah, eh tiba-tiba putus tanpa sebab. Nah lho? Jadi.. pacar yang sekarang sudah jadi pendamping 'sementara' kita, yang sudah kita sayangi dan mungkin sudah kita cintai dari lubuk hati yang terdalam, eh ternyata sama Tuhan itu dikatakan bukan jodoh kita alias dengan caranya Dia memutuskan hubungan itu yang sudah terjalin begitu lamanya. Lucu ya? Tetapi mengapa, Tuhan mempertemukan kita dengan 'dia' kalau 'dia' bukan jodoh kita? Untuk apa? Apa untungnya, kalau selama ini yang saya ketahui bahwa putus cinta itu adalah hal yang menyakitkan? Itu saya yang dulu-dulu baru berpacaran paling lama 8 bulan.. Lah bagaimana ceritanya orang yang sudah berpacaran lama sampai bertahun-tahun tiba-tiba putus? Pasti sakit hatinya melebihi sakit hati saya. Ya kan? Pertanyaan itu terus terngiang-ngiang di kepala saya sampai saya bingung sendiri untuk memperoleh jawabannya. Sampai-sampai masalah ini saya curhatkan ke ayah. Iyalah, ayah saya kan pernah muda dan untungnya dia sudah pernah tua, jadi menurut saya dia bakal tahu jawaban dari pertanyaan saya yang benar, bukan lagi sebuah jawaban yang nggantung. Eh dengan entengnya ayah saya jawab, "Ya itu supaya manusia belajar mbak". What, belajar? Ha?

Mendengar jawaban ayah, saya hanya diam dan memikirkan kalimat itu dalam-dalam. Belajar ya.. tetapi mengapa belajar harus buat orang sakit dan hampir bunuh diri (kebanyakan orang putus cinta kan gitu). Terus, untuk menghindari sakit hati itu, bagaimana caranya kita tahu, bahwa 'dia' adalah Mr.Right atau Mrs.Right untuk kita? Apakah harus berpacaran dan berpindah-pindah hati ke orang lain juga? Ya kan enggak gitu juga! Namanya coba-coba toh itu. Masa hati dicoba-coba (emang iklan minyak angin??) *eits saya terlalu bersemangat ngomongnya hehe.

Terus terang saya jadi galau, bimbang, dan ragu-ragu. Sempat terbesit dalam pikiran saya, apakah pacar saya sekarang adalah benar-benar yang diturunkan Tuhan untuk jadi imam saya nanti? Kalau bukan gimana? Padahal saya jujur saya sangat berharap hubungan ini gak pernah putus meskipun saya belum tahu siapa dia sebenarnya secara utuh..

Saya jadi membenarkan prinsip ayah dan adik saya. Mereka bilang, "Pacaran itu gampang mbak, bisa nanti-nanti saja. Kalau sekarang itu, kebanyakan dibuat main-main.."

Mungkin hanya waktu yang bisa menjawab pertanyaan saya. Haha semoga sajalah, waktu mengalir dengan baik sehingga dia bisa memfilter orang-orang suruhan Tuhan yang terbaik untuk saya *amin* :) . Dan apa yang saya lakukan sebagai manusia untuk bisa mendapatkan yang saya inginkan? Untuk sementara ini, saya cuma berusaha, mencari, dan memfilter. Untuk keputusan.. saya kembalikan saya yang berwajib hehe. Semoga saja dari semua orang yang telah mampir di dalam buku diary kehidupan saya, khususnya yang benar-benar spesial, baik yang jahat ataupun enggak, saya masih diberikan stok sabar hehe.

Ah sudah ah galau-galaunya. Hoho mari sekarang kita bergembira dan umbarkan semangat ke seluruh penjuru dunia. Untuk mengawali semangat kita, ini nih saya mau pajang award dari adek Aul . Wah padahal blog saya masih nggak ada-apanya. Sekali lagi thanks ya dek Aul :D


9 Mei 2011

Galau

8 Comments

"Denok"

2 Comments

Halo, perkenalkan namaku Denok. Tepatnya sih Dinda, dari sepenggal namaku Dinda Kartika. Tetapi ayah, ibu, dan keluarga besar lebih suka memanggilku Denok. Tanpa tahu mengapa aku dipanggil begitu. Yang jelas dari kecil aku dipanggil dengan nama itu hingga aku berusia tujuh belas tahun ini. Kalau aku bilang itu adalah nama kesayangan yang spesial yang diberikan keluarga untukku.
Betapa bahagianya aku, bahwa aku dinyatakan LULUS oleh sekolah dan negara seminggu yang lalu. Raut wajahku tak henti-hentinya bergembira. Saking bahagianya, aku sampai merayakan pesta kecil-kecilan dengan teman sekelas. Ya nggak sampai jauh-jauh keluar kota sih, cukup di dalam kota saja dengan modal yang sudah kami siapkan beberapa bulan yang lalu sebelum ujian nasional berlangsung. Gak mewah seperti sekolah-sekolah lain yang mengadakan porm night atau apalah, tetapi perayaan kecil kami cukup berkenang dan ending-nya membuat kami menitikkan air mata bersama-sama. Kami sama sekali enggak ingin berpisah. Tiga tahun bersama rasanya tidak adil harus dipisahkan karena waktu dan kewajiban kami yang harus melanjutkan pendidikan di lain-lain tempat.
Minggu-minggu kedepannya setelah senang dan sedih bersama teman-teman adalah minggu yang tidak menenangkan lagi. Yeah, setelah bebas dan lega dari ujian sekolah dan ujian nasional, aku tidak bisa bersantai-santai lagi karena harus belajar, belajar, dan belajar lagi untuk ujian masuk perguruan tinggi. Tentunya aku sebagai anak yang ingin mempunyai masa depan yang cerah, ingin sekali masuk perguruan tinggi yang favorit di kotaku. Segala upaya aku ikuti, mulai dari ikut bimbingan belajar, ikut les privat juga malam harinya, hingga sampai harus vacum dulu dari grup penulis yang sudah lama aku ikutin. Itu semua demi hasil maksimal yang aku inginkan, perguruan tinggi negeri elit yang aku inginkan.
Hari H dimana ujian itu berlangsung, aku serius mengerjakan soal-soal yang tertera diatas kertas putih. Aku pun nggak kalah seru memburamkan lingkaran-lingkaran kecil dari jawaban yang aku pikir benar. Ya meskipun dari sekian lingkaran jawaban yang aku pikir benar, ada juga yang meragukan. Tetapi aku sama sekali enggak ingin menyesali semua usaha yang telah aku lakukan. Aku pun harus optimis untuk lolos ujian tersebut supaya bisa masuk perguruan tinggi itu.
Manusia bisa berusaha, tetapi Tuhanlah yang menentukan. Ternyata setelah menunggu berminggu-minggu, aku dinyatakan tidak lolos. Sempat aku down dan ingin tidak meneruskan ikut ujian-ujian lainnya yang diadakan perguruan tinggi lain. Untung ada ayahku, yang selalu ada buat aku dan selalu support aku. Hingga pada akhirnya aku bangkit lagi dan siap untuk bertarung dengan beribu manusia yang nasibnya sama denganku.
Sempat bingung juga sih, menentukan perguruan tinggi mana yang akan aku ikuti ujiannya. Di perguruan tinggi A misalnya. Hm, disitu tidak ada jurusan yang aku minati. Dan ending-nya aku mencoret nama perguruan tinggi A dari daftar perguruan tinggi yang aku inginkan. Selanjutnya perguruan tinggi B. Wah, setelah diadakan rundingan keluarga kecil-kecilan, keluargaku mengatakan aku tak cocok untuk masuk situ. Mana kata orang-orang perguruan tinggi disitu biayanya mahal. Hehe maklum saja, keluargaku bukan merupakan keluarga dengan kondisi uang yang berlebih. Jadi untuk kuliahku pun, dana adalah salah satu kategori yang harus dipikirkan.
Hingga pada akhirnya, aku pasrah. Di kotaku, jurusan dan perguruan tinggi yang aku sukai sudah menolakku. Lalu harus kemanakah aku sekarang? Aku sempat loyo dan lagi-lagi pasrah dengan keadaan hingga pada akhirnya ayah memberitahuku untuk mencoba ujian masuk perguruan tinggi di luar kota. Aku sempat ragu dengan kata ayah. Melihat ekspresiku yang sepertinya tidak berminat dengan ajakan ayah, ayah menasehatiku.
“Nok, kesempatan itu tidak ada untuk kedua kalinya. Kita pun tidak tahu kan, dimana rejeki dan keberuntungan kita berada. Maka dari itu, kita harus berusaha lebih keras lagi untuk mencari rejeki dan keberuntungan kita. Termasuk di perguruan tinggi itu…” kata ayah sambil memegang pundakku. Aku sama sekali tidak mau melihat matanya saat berbicara seperti ini. Takut ayah tahu bahwa aku takut untuk gagal lagi. Dan yang terpenting, takut untuk jauh dari keluarga.
“Dicoba ya, Nok? Ayah akan selalu ada untuk Denok dalam keadaan apapun. Ayah akan nemeni Denok belajar sampai Denok bisa.. Ayah akan mengusahakan yang semaksimalnya untuk anak ayah yang cantik ini..” Aku tersenyum. Ah ayah ini, selalu saja mbanyol.
“Ah, apaan sih, yaaaaah. Uda deh, jangan ngerayu Denok lagi! Denok lagi gak mau dirayu!” ujarku manja. Ayah tertawa cekikikan.
“Halah, gayamu nok.. Kalau dirayu cowok lain selain ayah pasti mau. Hihihi iya kan?” Aku ketawa sambil menyenggol ayah. “Hehe itu kan lain yaaaaaah..” jawabku sambil memeluk ayah manja. Ayah menangkap pelukanku, kemudian dia memainkan rambutku yang lurus panjang ini.
“Denok, ikutin ayah ya kali ini. Ayah yakin kamu bisa kok. Anak ayah pasti bisa! Semangat dong semangat! Masa kalah semangatnya sama ayah?” Aku melepaskan pelukan ayah dan memperhatikan lekuk wajah ayah dalam-dalam. Ayah sama sekali enggak pernah ngomong main-main, apalagi soal masa depan anaknya. Dibalik matanya, aku bisa melihat ayah telah yakin padaku bahwa aku bisa. Tak sampai lama aku memikirkan ini semua. Aku pun mengangguk. Ayah tersenyum lebar dan kembali memelukku hangat.
Aku sayang ayah, sampai kapanpun.

* * *
Proses untuk mendapatkan yang terbaik dari yang terbaik itu ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Iya inilah yang aku rasakan ketika akan mengikuti ujian di perguruan tinggi luar kota yang disarankan ayah. Sebelum mengikuti ujian, aku mendaftarkan diri dahulu disana. Untung aku enggak sendirian, ayah ikut mengantarkanku kesana hingga prosedur pendaftaran selesai. Ya lumayan repot juga sih, harus riwa-riwi kesana kemari. Apalagi kami waktu itu hanya membawa uang seadanya. Jadi begitu pendaftaran beres, tentunya kami langsung pulang ke kota asal kami. Bukannya santai-santai langsung menginap di salah satu hotel atau di rumah saudara yang kebetulan ada di kota itu.
Hari ke hari selanjutnya, jantungku terus berdegup kencang mendekati hari H ujian. Ayah terus ngoyo mengajarkanku. Mulai pelajaran kimia, fisika, bahasa inggris, matematika, ataupun bahasa Indonesia. Dengan semangat juang yang enggak kalah dengan ayah, aku belajar mati-matian. Aku nggak ingin untuk kesekian kalinya membuat ayah kecewa. Jadi, aku harus berusaha dan tetap optimis aku bisa.
Disela-sela belajar di ruang tamu bersama ayah, aku iseng bertanya padanya, “Yah, kalau misal aku keterima disana, aku nanti nginap dimana?” tanyaku. Mungkin ini adalah pertanyaan klise yang seharusnya bisa dipikirkan nanti, tetapi menurutku ini adalah sebuah pertanyaan yang amat penting untukku.
Sambil memperhatikan soal-soal di beberapa tumpukan kertas diatas meja ruang tamu, ayah menjawab, “Ya ngekost dong, sayang. Nanti sambil jalan kita nyari kost-kostnya ya. Santai saja, ayah sudah mempersiapkan semuanya kok”. Aku terdiam. Aku kurang yakin dengan jawaban ayah.
“Ngekost, yah? Yaaaa aku bakal jauh dari ayah, ibu, dan adik dong?” Tiba-tiba aku manyun. Baru sadar aku akan hal ini.
Melihatku yang sudah tidak bersemangat lagi belajar, ayah menghentikan aktifitasnya. Ia melepas kacamata tebalnya dan bersenden di kursi. “Ya gimana lagi, Nok. Ya itu kan salah satu takdir Tuhan yang harus kita jalani bersama-sama.. Kamu disana akan belajar dewasa, belajar nyari makan sendiri, belajar cuci baju sendiri, belajar mandirilah pokoknya. Kan itu asyik tuh..” kata ayah sambil tersenyum. Aku sama sekali belum tertarik.
“Gak asyik, yah, gitu. Lebih asyik itu kalo rumah ini beserta orang-orangnya dibawa kesana semua…” ucapku asal. Ayah ketawa ngakak.
“Yeeee ngawur kamu itu, Nok. Kalau dibawa kesana semua, adik gimana sekolahnya? Bagaimana dengan pekerjaan ayah dan ibu? Masa ayah dan ibu harus melepaskan pekerjaan yang sudah digeluti bertahun-tahun hanya untuk kamu? Namanya Denok egois dong…” Aku tertunduk lemah. Iya, benar juga kata ayah. Aku melepaskan napas lemas.
“Denok bisa kok. Ayah yakin itu.” jawabnya.
“Bukan itunya, yah. Denok cuma takut nggak bisa jauh dari keluarga, termasuk ayah…” Air mata rasanya tidak kuat lagi terbendung. Aku menangis waktu ini juga, di depan ayah. Padahal aku sudah berusaha untuk kuat dan tetap tegar supaya tidak menangis di depan ayah. Jujur saja, aku belum yakin jika harus jauh-jauh dari keluarga. Kau tahu mengapa? Karena selama ini merekalah kekuatanku. Jika aku jauh dengan mereka, sama saja aku melepaskan tulang rusukku. Aku belum siap akan hal itu. Belum siap jika harus empat tahun disana, sendirian, tanpa keluarga yang sedari kecil aku bersama mereka. Aku bukan anak mandiri dan tegar seperti teman-teman lainnya yang lebih senang jauh dari keluarga, yang kata mereka bisa bebas sebebas-bebasnya. Aku adalah anak manja yang selama ini, apa-apa selalu dilayani oleh keluargaku. Jadi… aku belum bisa untuk itu.
Ayah menghapus air hangat yang telah turun ke pipiku. Sambil tersenyum, ayah menasehatiku lagi. “Denok nggak boleh nangis. Sudah umur tujuh belas tahun kok, mau kuliah juga. Masa nangis?” Aku tertunduk lemah. Tidak kuat menunjukkan air mataku yang ingin turun lagi di depan ayah.
“Ayah dan keluarga secara bertahap akan mengunjungi Denok disana. Kalau liburan, Denok kan bisa pulang terus ngalem-ngalem lagi di pelukan ayah dan ibu. Kalau Denok memikirkan hal yang susah dahulu, sebelum Denok menjalankan itu semua akan terasa berat, Nok. Maka dari itu, Denok harus positive thinking. Denok bisa, Denok kuat, Denok wonderwoman! Denok gak akan sendirian kok disana. Nanti disana Denok akan menemukan teman-teman yang baru, yang asyik, yang seru, yang bisa gantiin ayah dan keluarga disana,” ucapnya. Tes. Sebulir air mata turun lagi. Buru-buru aku menghapusnya.
Aku mengangkat wajah dan langsung memegang tangan ayah, “Tidak ada yang bisa gantiin sosok keluarga dengan yang lainnya, yah. Enggak bisa…”
Ayah tersenyum simpul dan menggenggam tanganku erat. Damaaaai banget rasanya.
“Ayah tahu itu, nak…” Ayah mengacak-ngacak rambutku sambil terus menatapku lurus. Senyum simpulnya masih mengembang, sama sekali tidak pernah pudar ketika akan memberi motivasi kepada semua anaknya.
“ Denok yakin kan sama ayah?” Aku mengangguk mantap tanpa ragu sedikit pun soal ini.
“Kalau Denok yakin sama ayah, percayalah sama ayah. Ingat pesan ayah, segala sesuatunya tidak akan pernah berjalan lurus dan mudah. Tuhan tidak akan pernah memberikan cobaan yang melebihi kemampuan umat-Nya. Sekarang tugas Denok adalah berusaha, perkuatkan hati, pikiran, dan mental. Jangan lupa terus sholat dan berikhtiar. Dengan begitu, Tuhan tidak akan pernah jauh-jauh dari Denok. Oke ya, sayang?” Tes. Tes. Tes. Tetes demi tetes air mata yang tadi aku paksa untuk nggak turun, akhirnya tidak kuat terbendung. Aku menangis. Air mata itu telah banjir dan jatuh semuanya. Hatiku rasanya sakit dan berdegup lebih kencang daripada degupan ketika menunggu waktu ujian datang. Bukan sakit karena ayah telah mengatakan kata-kata yang membuat aku marah atau enggak aku terima, tapi sakit karena aku baru menyadari bahwa aku sangat lemah sekali (backsound: Sheila on 7-sekali lagi, bagian reff).
Mengetahui aku makin menjadi-jadi nangisnya, ayah langsung memelukku erat. Erat dan erat sekali, seakan ingin membuatku tenang. Tetapi bukannya tangisku makin reda, tangisku makin deras. Semuanya terasa seperti bahwa pelukan ayah ini untukku yang terakhir kalinya. Aku sama sekali tidak ingin melepaskan pelukan ini.
“Sudahlah, nak. Jalani saja takdir yang telah diberikan Tuhan untuk kita. Kalau kita telah berhasil dan lolos melewatkan semua cobaan dari-Nya, kita adalah orang-orang yang kuat. Ayah sangat yakin, anak ayah ini bisa melalui semuanya itu dengan mudah. Denok enggak sendirian, ada ayah disini. Meskipun nanti Denok jauh dari mata ayah, tetapi jiwani dan hati ayah ada di dekatmu, nak.. Sudah ya, berhenti nangisnya ya..”
Enggak bisa, yah, Denok gak mau berhenti nangis sampai aku mengetahui dan menyadari sesuatu hal, bahwa ayah tidak akan berhenti memberikan pelukan dan nasehat ini terus pada Denok jika nanti Denok jauh disana, batinku…

bersambung...
* * *