Halo, perkenalkan namaku Denok. Tepatnya sih Dinda, dari sepenggal namaku Dinda Kartika. Tetapi ayah, ibu, dan keluarga besar lebih suka memanggilku Denok. Tanpa tahu mengapa aku dipanggil begitu. Yang jelas dari kecil aku dipanggil dengan nama itu hingga aku berusia tujuh belas tahun ini. Kalau aku bilang itu adalah nama kesayangan yang spesial yang diberikan keluarga untukku.
Betapa bahagianya aku, bahwa aku dinyatakan LULUS oleh sekolah dan negara seminggu yang lalu. Raut wajahku tak henti-hentinya bergembira. Saking bahagianya, aku sampai merayakan pesta kecil-kecilan dengan teman sekelas. Ya nggak sampai jauh-jauh keluar kota sih, cukup di dalam kota saja dengan modal yang sudah kami siapkan beberapa bulan yang lalu sebelum ujian nasional berlangsung. Gak mewah seperti sekolah-sekolah lain yang mengadakan porm night atau apalah, tetapi perayaan kecil kami cukup berkenang dan ending-nya membuat kami menitikkan air mata bersama-sama. Kami sama sekali enggak ingin berpisah. Tiga tahun bersama rasanya tidak adil harus dipisahkan karena waktu dan kewajiban kami yang harus melanjutkan pendidikan di lain-lain tempat.
Minggu-minggu kedepannya setelah senang dan sedih bersama teman-teman adalah minggu yang tidak menenangkan lagi. Yeah, setelah bebas dan lega dari ujian sekolah dan ujian nasional, aku tidak bisa bersantai-santai lagi karena harus belajar, belajar, dan belajar lagi untuk ujian masuk perguruan tinggi. Tentunya aku sebagai anak yang ingin mempunyai masa depan yang cerah, ingin sekali masuk perguruan tinggi yang favorit di kotaku. Segala upaya aku ikuti, mulai dari ikut bimbingan belajar, ikut les privat juga malam harinya, hingga sampai harus vacum dulu dari grup penulis yang sudah lama aku ikutin. Itu semua demi hasil maksimal yang aku inginkan, perguruan tinggi negeri elit yang aku inginkan.
Hari H dimana ujian itu berlangsung, aku serius mengerjakan soal-soal yang tertera diatas kertas putih. Aku pun nggak kalah seru memburamkan lingkaran-lingkaran kecil dari jawaban yang aku pikir benar. Ya meskipun dari sekian lingkaran jawaban yang aku pikir benar, ada juga yang meragukan. Tetapi aku sama sekali enggak ingin menyesali semua usaha yang telah aku lakukan. Aku pun harus optimis untuk lolos ujian tersebut supaya bisa masuk perguruan tinggi itu.
Manusia bisa berusaha, tetapi Tuhanlah yang menentukan. Ternyata setelah menunggu berminggu-minggu, aku dinyatakan tidak lolos. Sempat aku down dan ingin tidak meneruskan ikut ujian-ujian lainnya yang diadakan perguruan tinggi lain. Untung ada ayahku, yang selalu ada buat aku dan selalu support aku. Hingga pada akhirnya aku bangkit lagi dan siap untuk bertarung dengan beribu manusia yang nasibnya sama denganku.
Sempat bingung juga sih, menentukan perguruan tinggi mana yang akan aku ikuti ujiannya. Di perguruan tinggi A misalnya. Hm, disitu tidak ada jurusan yang aku minati. Dan ending-nya aku mencoret nama perguruan tinggi A dari daftar perguruan tinggi yang aku inginkan. Selanjutnya perguruan tinggi B. Wah, setelah diadakan rundingan keluarga kecil-kecilan, keluargaku mengatakan aku tak cocok untuk masuk situ. Mana kata orang-orang perguruan tinggi disitu biayanya mahal. Hehe maklum saja, keluargaku bukan merupakan keluarga dengan kondisi uang yang berlebih. Jadi untuk kuliahku pun, dana adalah salah satu kategori yang harus dipikirkan.
Hingga pada akhirnya, aku pasrah. Di kotaku, jurusan dan perguruan tinggi yang aku sukai sudah menolakku. Lalu harus kemanakah aku sekarang? Aku sempat loyo dan lagi-lagi pasrah dengan keadaan hingga pada akhirnya ayah memberitahuku untuk mencoba ujian masuk perguruan tinggi di luar kota. Aku sempat ragu dengan kata ayah. Melihat ekspresiku yang sepertinya tidak berminat dengan ajakan ayah, ayah menasehatiku.
“Nok, kesempatan itu tidak ada untuk kedua kalinya. Kita pun tidak tahu kan, dimana rejeki dan keberuntungan kita berada. Maka dari itu, kita harus berusaha lebih keras lagi untuk mencari rejeki dan keberuntungan kita. Termasuk di perguruan tinggi itu…” kata ayah sambil memegang pundakku. Aku sama sekali tidak mau melihat matanya saat berbicara seperti ini. Takut ayah tahu bahwa aku takut untuk gagal lagi. Dan yang terpenting, takut untuk jauh dari keluarga.
“Dicoba ya, Nok? Ayah akan selalu ada untuk Denok dalam keadaan apapun. Ayah akan nemeni Denok belajar sampai Denok bisa.. Ayah akan mengusahakan yang semaksimalnya untuk anak ayah yang cantik ini..” Aku tersenyum. Ah ayah ini, selalu saja mbanyol.
“Ah, apaan sih, yaaaaah. Uda deh, jangan ngerayu Denok lagi! Denok lagi gak mau dirayu!” ujarku manja. Ayah tertawa cekikikan.
“Halah, gayamu nok.. Kalau dirayu cowok lain selain ayah pasti mau. Hihihi iya kan?” Aku ketawa sambil menyenggol ayah. “Hehe itu kan lain yaaaaaah..” jawabku sambil memeluk ayah manja. Ayah menangkap pelukanku, kemudian dia memainkan rambutku yang lurus panjang ini.
“Denok, ikutin ayah ya kali ini. Ayah yakin kamu bisa kok. Anak ayah pasti bisa! Semangat dong semangat! Masa kalah semangatnya sama ayah?” Aku melepaskan pelukan ayah dan memperhatikan lekuk wajah ayah dalam-dalam. Ayah sama sekali enggak pernah ngomong main-main, apalagi soal masa depan anaknya. Dibalik matanya, aku bisa melihat ayah telah yakin padaku bahwa aku bisa. Tak sampai lama aku memikirkan ini semua. Aku pun mengangguk. Ayah tersenyum lebar dan kembali memelukku hangat.
Aku sayang ayah, sampai kapanpun.
* * *
Proses untuk mendapatkan yang terbaik dari yang terbaik itu ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Iya inilah yang aku rasakan ketika akan mengikuti ujian di perguruan tinggi luar kota yang disarankan ayah. Sebelum mengikuti ujian, aku mendaftarkan diri dahulu disana. Untung aku enggak sendirian, ayah ikut mengantarkanku kesana hingga prosedur pendaftaran selesai. Ya lumayan repot juga sih, harus riwa-riwi kesana kemari. Apalagi kami waktu itu hanya membawa uang seadanya. Jadi begitu pendaftaran beres, tentunya kami langsung pulang ke kota asal kami. Bukannya santai-santai langsung menginap di salah satu hotel atau di rumah saudara yang kebetulan ada di kota itu.
Hari ke hari selanjutnya, jantungku terus berdegup kencang mendekati hari H ujian. Ayah terus ngoyo mengajarkanku. Mulai pelajaran kimia, fisika, bahasa inggris, matematika, ataupun bahasa Indonesia. Dengan semangat juang yang enggak kalah dengan ayah, aku belajar mati-matian. Aku nggak ingin untuk kesekian kalinya membuat ayah kecewa. Jadi, aku harus berusaha dan tetap optimis aku bisa.
Disela-sela belajar di ruang tamu bersama ayah, aku iseng bertanya padanya, “Yah, kalau misal aku keterima disana, aku nanti nginap dimana?” tanyaku. Mungkin ini adalah pertanyaan klise yang seharusnya bisa dipikirkan nanti, tetapi menurutku ini adalah sebuah pertanyaan yang amat penting untukku.
Sambil memperhatikan soal-soal di beberapa tumpukan kertas diatas meja ruang tamu, ayah menjawab, “Ya ngekost dong, sayang. Nanti sambil jalan kita nyari kost-kostnya ya. Santai saja, ayah sudah mempersiapkan semuanya kok”. Aku terdiam. Aku kurang yakin dengan jawaban ayah.
“Ngekost, yah? Yaaaa aku bakal jauh dari ayah, ibu, dan adik dong?” Tiba-tiba aku manyun. Baru sadar aku akan hal ini.
Melihatku yang sudah tidak bersemangat lagi belajar, ayah menghentikan aktifitasnya. Ia melepas kacamata tebalnya dan bersenden di kursi. “Ya gimana lagi, Nok. Ya itu kan salah satu takdir Tuhan yang harus kita jalani bersama-sama.. Kamu disana akan belajar dewasa, belajar nyari makan sendiri, belajar cuci baju sendiri, belajar mandirilah pokoknya. Kan itu asyik tuh..” kata ayah sambil tersenyum. Aku sama sekali belum tertarik.
“Gak asyik, yah, gitu. Lebih asyik itu kalo rumah ini beserta orang-orangnya dibawa kesana semua…” ucapku asal. Ayah ketawa ngakak.
“Yeeee ngawur kamu itu, Nok. Kalau dibawa kesana semua, adik gimana sekolahnya? Bagaimana dengan pekerjaan ayah dan ibu? Masa ayah dan ibu harus melepaskan pekerjaan yang sudah digeluti bertahun-tahun hanya untuk kamu? Namanya Denok egois dong…” Aku tertunduk lemah. Iya, benar juga kata ayah. Aku melepaskan napas lemas.
“Denok bisa kok. Ayah yakin itu.” jawabnya.
“Bukan itunya, yah. Denok cuma takut nggak bisa jauh dari keluarga, termasuk ayah…” Air mata rasanya tidak kuat lagi terbendung. Aku menangis waktu ini juga, di depan ayah. Padahal aku sudah berusaha untuk kuat dan tetap tegar supaya tidak menangis di depan ayah. Jujur saja, aku belum yakin jika harus jauh-jauh dari keluarga. Kau tahu mengapa? Karena selama ini merekalah kekuatanku. Jika aku jauh dengan mereka, sama saja aku melepaskan tulang rusukku. Aku belum siap akan hal itu. Belum siap jika harus empat tahun disana, sendirian, tanpa keluarga yang sedari kecil aku bersama mereka. Aku bukan anak mandiri dan tegar seperti teman-teman lainnya yang lebih senang jauh dari keluarga, yang kata mereka bisa bebas sebebas-bebasnya. Aku adalah anak manja yang selama ini, apa-apa selalu dilayani oleh keluargaku. Jadi… aku belum bisa untuk itu.
Ayah menghapus air hangat yang telah turun ke pipiku. Sambil tersenyum, ayah menasehatiku lagi. “Denok nggak boleh nangis. Sudah umur tujuh belas tahun kok, mau kuliah juga. Masa nangis?” Aku tertunduk lemah. Tidak kuat menunjukkan air mataku yang ingin turun lagi di depan ayah.
“Ayah dan keluarga secara bertahap akan mengunjungi Denok disana. Kalau liburan, Denok kan bisa pulang terus ngalem-ngalem lagi di pelukan ayah dan ibu. Kalau Denok memikirkan hal yang susah dahulu, sebelum Denok menjalankan itu semua akan terasa berat, Nok. Maka dari itu, Denok harus positive thinking. Denok bisa, Denok kuat, Denok wonderwoman! Denok gak akan sendirian kok disana. Nanti disana Denok akan menemukan teman-teman yang baru, yang asyik, yang seru, yang bisa gantiin ayah dan keluarga disana,” ucapnya. Tes. Sebulir air mata turun lagi. Buru-buru aku menghapusnya.
Aku mengangkat wajah dan langsung memegang tangan ayah, “Tidak ada yang bisa gantiin sosok keluarga dengan yang lainnya, yah. Enggak bisa…”
Ayah tersenyum simpul dan menggenggam tanganku erat. Damaaaai banget rasanya.
“Ayah tahu itu, nak…” Ayah mengacak-ngacak rambutku sambil terus menatapku lurus. Senyum simpulnya masih mengembang, sama sekali tidak pernah pudar ketika akan memberi motivasi kepada semua anaknya.
“ Denok yakin kan sama ayah?” Aku mengangguk mantap tanpa ragu sedikit pun soal ini.
“Kalau Denok yakin sama ayah, percayalah sama ayah. Ingat pesan ayah, segala sesuatunya tidak akan pernah berjalan lurus dan mudah. Tuhan tidak akan pernah memberikan cobaan yang melebihi kemampuan umat-Nya. Sekarang tugas Denok adalah berusaha, perkuatkan hati, pikiran, dan mental. Jangan lupa terus sholat dan berikhtiar. Dengan begitu, Tuhan tidak akan pernah jauh-jauh dari Denok. Oke ya, sayang?” Tes. Tes. Tes. Tetes demi tetes air mata yang tadi aku paksa untuk nggak turun, akhirnya tidak kuat terbendung. Aku menangis. Air mata itu telah banjir dan jatuh semuanya. Hatiku rasanya sakit dan berdegup lebih kencang daripada degupan ketika menunggu waktu ujian datang. Bukan sakit karena ayah telah mengatakan kata-kata yang membuat aku marah atau enggak aku terima, tapi sakit karena aku baru menyadari bahwa aku sangat lemah sekali (backsound: Sheila on 7-sekali lagi, bagian reff).
Mengetahui aku makin menjadi-jadi nangisnya, ayah langsung memelukku erat. Erat dan erat sekali, seakan ingin membuatku tenang. Tetapi bukannya tangisku makin reda, tangisku makin deras. Semuanya terasa seperti bahwa pelukan ayah ini untukku yang terakhir kalinya. Aku sama sekali tidak ingin melepaskan pelukan ini.
“Sudahlah, nak. Jalani saja takdir yang telah diberikan Tuhan untuk kita. Kalau kita telah berhasil dan lolos melewatkan semua cobaan dari-Nya, kita adalah orang-orang yang kuat. Ayah sangat yakin, anak ayah ini bisa melalui semuanya itu dengan mudah. Denok enggak sendirian, ada ayah disini. Meskipun nanti Denok jauh dari mata ayah, tetapi jiwani dan hati ayah ada di dekatmu, nak.. Sudah ya, berhenti nangisnya ya..”
Enggak bisa, yah, Denok gak mau berhenti nangis sampai aku mengetahui dan menyadari sesuatu hal, bahwa ayah tidak akan berhenti memberikan pelukan dan nasehat ini terus pada Denok jika nanti Denok jauh disana, batinku…
bersambung...
* * *