Puji syukur saya dan suami sampaikan, akhirnya kami melewati fase ini. MENIKAH. Alhamdulillah, yey! Setelah susahnya menabung hampir tiga tahunan, belajar menyisihkan uang gajian dari godaan dunia yang banyaaaaak sekali, pacaran enam tahun lebih yang gak mulus jalannya karena saya yang hobi nggondok kalau ditinggal tidur, perihnya pacaran LDR Batam-Berau atau Surabaya-Berau yang gak bisa ditentukan kapan ketemuannya dan masih banyak lagi kendala-kendala yang kami hadapi menjelang keputusan ini.
Well, keputusan untuk menikah memang bukan keputusan yang bisa diambil gampang. Apalagi kami baru sama-sama menikmati uang hasil kerja dua-tiga tahunan. Masih banyak gejolak ingin foya-foya dan menyenangkan diri sendiri. Tapi kembali lagi mencoba menengok keinginan hati masing-masing, akhirnya kami memutuskan untuk menikah.
Waktu pertama kali cerita ke teman dekat rencana pernikahan kami, saya selalu menceritakan konsep pernikahan sederhana kami yang hanya melaksanakan akad dan syukuran kecil-kecilan di rumah makan dekat rumah. Tidak pakai dekorasi, terop ataupun kuade yang biasanya dipakai seperti orang lain punya acara. Ada beberapa alasan mengapa saya selalu menceritakan panjang kali lebar soal ini. Yang paling utama adalah agar para undangan maklum dan bisa datang ke acara kami tanpa canggung. Mungkin banyak yang bertanya mengapa memilih menikah dengan cara seperti ini.. Jawaban saya simpel: Karena masih banyak keperluan yang harus kami siapkan setelah selesai acara. It means rumah, perabotan, tabungan jangka panjang, sepeda motor, tabungan anak, dan lain-lain yang gak bisa dilist satu persatu. Menikah tanpa resepsi seperti ini sebenarnya adalah permintaan bapak, melihat background orang tua saya yang divorce dan masing-masing sudah menikah dan tidak mungkin pada saat acara mereka harus 'dipajang' bersama. Namun kembali lagi dengan cara pikir kami yang 'sangat' sederhana memandang acara ini seperti yang saya telah jelaskan sebelumnya. Kami harus banyak puasa dan menabung untuk kedepannya, karena kami tahu banget rasanya mencari uang dan sangat menyayangkan apabila uang puluhan juta harus dihabiskan semalam.
Kami sengaja hanya mengundang 90 undangan. Itu berarti sekitar 180 orang yang hadir. Yang kami undang hanyalah saudara, tetangga dan teman dekat. Untuk mengatasi orang lain yang tidak diundang iri, kami memberitahu mendadak dan (lagi-lagi) menjelaskan detail acara syukuran kami. Dengan begitu yang diundang akan tahu bahwa kami tidak mengadakan acara besar-besaran dan tidak share cerita sana-sini. Undangan hanya kami sampaikan via telepon dan pesan Whatsapp. Iya, kami gak cetak undangan untuk menghindari budget berlebih dan lagi-lagi menyayangkan uang yang dipakai hanya untuk cetak undangan 90 lembar saja *haha.
Percaya tidak untuk mempersiapkan pernikahan ini kami hanya mempunyai budget sekitar 17 juta? Sangat mustahil rasanya merayakan pernikahan di Surabaya dengan budget minim sekali seperti itu, apalagi saya niatnya pengen temanya outdoor party yang serba hijau. Maksud saya jadi misalpun minim dekorasi buat foto-foto itu tetap bagus dan enak dipandang. Namun setelah searching sana-sini untuk sewa taman atau lapangan golf buat nikahan itu ternyata mihil banget. Saya dan bapak curhat ke tante Wiwik soal permasalahan kami. Tante bilang kalau ingin konsepnya seperti itu bisa nyoba tanya-tanya ke Restauran Agis (dekat masjid Agung) dengan minimal tamu undangan sekitar 300 orang. Tapi dari hasil searching kemarin, restauran Agis bukan seperti konsep yang saya inginkan yang pengennya nginjak rumput hijau ditemani dengan semilir angin. Setelah diskusi berkepanjangan, akhirnya tema outdoor kami coret dan memilih untuk indoor saja dengan konsep sederhana. Mulai deh saya keliling ke banyak restauran buat tanya-tanya. Rumah Makan Handayani, Ayam Bakar Malioboro, sampai searching ke cafe-cafe yang bisa nerima acara syukuran orang banyak dengan budget yang kami punya. Semua price list dikumpulkan dan kami memutuskan memilih di Primarasa Restaurant yang berada di jalan Manyar Kertoarjo karena dekat dengan rumah. Kami sangat terbantu dengan mbak Chusnul (mbak yang melayani kami waktu itu) yang mengerti maksud keinginan kami dan kooperatif memberikan masukan kepada kami. Hanya dengan budget 15 juta kurang sedikit, kami bisa memesan paket makanan enak untuk tamu-tamu kami tanpa dekorasi namun tetap pantas dipandang dan free meja kursi untuk tempat souvenir dan juga sound system. Alhamdulillah tangan Allah benar-benar membantu kami.
Untuk baju pengantin bagaimana? Alhamdulillah lagi Allah membantu kami lewat tangan tante saya yang bekerja sebagai Wedding Organizer di Trenggalek. Kami mendapatkan sewa baju pengantin pada saat akad dan acara di Primarasa gratis. 2 sepasang baju pengantin semuanya bagus-bagus diluar ekspetasi saya yang awalnya ingin memakai dress 'biasa' saja agar bisa keliling menghampiri tamu. Oleh tante Nur (pemilik An-Nur Wedding Organizer) dan beberapa saudara sesepuh saya malah dinasehati begini: "Buat acara sekali seumur hidup mbak. Gak apa-apa pakai baju yang ini ya?", sambil menunjuk gaun pernikahan yang ada ekornya. Karena saya kalah suara, ya sudah saya manut. Tante Nur menyiapkan dress pengantin sepasang warna putih kombinasi emas untuk akad dan dress pengantin warna abu-abu kombinasi pink untuk acara di Primarasa.
Sewa photographer? Enggak. Saya sangat beruntung punya sepupu yang hobi foto-foto pakai kamera SLR-nya. Semua perlengkapan kamera pakai punya dia, jadi tidak perlu mengeluarkan biaya lagi untuk menyewa. Hihihi alhamdulillah banget.
Hasil fotonya biasa saja? Tidak masalah. Yang penting kami punya kenangan manis dalam fotonya. Untuk masalah edit dan cetaknya itu mudah karena saya juga bisa edit foto karena suka banget ngotak-ngatik Photoshop. Jadi tidak perlu lagi menggunakan jasa editor hehe.
Souvenirnya bagaimana? Untuk acara beginian pasti butuh budget yang lumayan untuk urusan souvenir. Oleh karena itu kami memutuskan waktu itu tidak perlu menggunakan souvenir dan para undangan tidak perlu menulis buku tamu. Jadi para undangan tidak perlu repot-repot juga memberi 'sangu' untuk kami karena memang niatnya kami menyelenggarakan syukuran, bukan pesta yang mengharapkan lainnya. Pernyataan kami ini langsung disanggah oleh tante Wiwik yang mengatakan, "Enggak bisa mas (bapak saya), mbak (saya). Tante dulu pernah mengadakan acara seperti itu tapi malah kerepotan untuk menyimpan amplopnya. Meskipun sudah dijelaskan kalau hanya syukuran biasa, pasti masih banyak orang yang ngasih amplop. Amplopnya malah kececeran kemana-mana gak ketata. Mending disiapkan aja itu kotak uangnya (apa sih namanya lupa..)". Saya dan bapak saling bertatapan meminta pendapat. Bapak langsung berkomentar, "Kalau ada kotak uang, berarti harus ada souvenir, dek Wik." Dan jawaban selanjutnya tante Wiwik membuat kami sangat terkejut: "Iya gak apa-apa. Nanti tante yang nyiapkan dan jaga souvenir sama buku tamunya." Kami melongo. Entah harus komentar apa. Begitu banyak Allah menitipkan malaikat ditengah-tengah kami yang siap membantu tanpa balasan. Kami benar-benar sangat terharu.
Souvenir dihandle tante Wiwik. Baju pengantin dihandle tante Nur. Foto dihandle oleh mas Adi (sepupu). Jadi kami berdua cuma mempersiapkan biaya untuk mahar, cincin, biaya KUA dan makan. Total semua hampir 17 juta kurang sedikit. Alhamdulillah walaupun harus kejar waktu dan gotong royong dengan para saudara, acara pernikahan kami yang berlangsung pada tanggal 9 September 2017 kemarin dapat berjalan dengan lancar. SAH! Kami sudah tidak perlu canggung lagi berjalan berduaan sampai malam karena Allah sudah meridhoi :)
Jadi, menikah tanpa resepsi dengan budget minim bisa? Bisa banget, asal harus kuat mental dan telinga untuk menjelaskan ke orang lain apa maksud dari acara sederhana itu. Tidak perlu ragu dan malu menjadi 'beda' daripada yang lain. Yang penting niat baik, insyaAllah Allah akan selalu membantu hambaNya disegala cara.