Pages

20 Maret 2017

Di Malam Maret

0 Comments

Ini soal waktu. Soal kesempatan. Dan soal "bagaimana".

Di suatu ketika, seorang ayah mengajak ngobrol anaknya dalam perjalanan pulang dari luar kota. Hari itu waktu berputar sangat lambat dan perjalanan masih sangat jauh untuk menuju rumah. Mendengarkan berita di salah satu stasiun radio tidak mengobati kantuk yang makin menjadi-jadi. Berbagai obrolan mengalir hingga pada suatu titik habis cerita dan bingung membahas apa.

"Ayah kasihan sama om..."
"Kasihan kenapa, Yah?"
"Om bilang pada ayah. Katanya iri dengan ayah yang bisa ngeladeni kakek."

Sang anak cuma tersenyum. Om tinggal di luar kota dan jauh dari kakek. Setahun sekali om pulang kampung mengunjungi kakek bersama keluarga besarnya. Kakek sering sakit dikarenakan usianya yang semakin tua.

"Ayah cuma bilang.. Kalau mau memperhatikan kakek, luangkan waktunya untuk telepon seminggu sekali ke rumah. Ya kakak tahu kan, om itu jarang sekali nelpon kakek kalau tidak ayah yang mengingatkan."
"Ya mungkin om sibuk, Yah."
"Masa sibuk sampai tidak pernah ada waktu untuk telepon bapaknya? Padahal seorang bapak itu ya kak, mendengar suara anak dan cucunya saja sudah senang lho. Itu obat yang susah dicari.."
"Ya mungkin om lupa, Yah."
"Ayah pernah kirim Whatsapp ngasih kabar soal kakek. Balasnya baru besoknya lho, kak. Masa om gak megang hape."
"Ya bisa jadi, Yah. Kan tiap orang punya alasan yang kita sendiri tidak tahu..."

Hening. Suara penyiar radio menggema isi mobil. Kakak dan ayah saling ribut dengan pikirannya masing-masing.

"Ayah pernah chat om kalau kakek butuh uang buat berobat. Om lagi gak ada uang dan bilang adanya uang pakai credit card. Kakek sampai bilang nanti akan dibayar cicil tiap bulan, kak. Gimana menurut kakak seperti itu?"

Kakak tersenyum. Matanya masih menatap jauh ke jalanan. Telinganya masih awas mendengarkan cerita ayahnya.

"Menurut kakak nih, Yah, case-nya om ini masih belum bisa bagi waktu dan masalah antara keluarga baru dan keluarganya. Anaknya om kan masih kecil-kecil. Mungkin masih kepikiran buat cicilan ini, cicilan itu, biaya sekolah, biaya lainnya, sehingga belum bisa menyisihkan uang buat biaya kakek. Itu mungkin yang belum dipikirkan om."
"Iya, ayah tau, kak. Ayah juga sadar itu..."

Hening. Dua menit terlewat dan suara penyiar tertawa membuyarkan pikiran masing-masing.

"Maka dari itu, kak. Jika sudah menikah harus bisa bagi rata antara keluarga istri dan keluarga kamu. Gak bisa berat disalah satu. Harus imbang dikeduanya."
"Iya, Yah."

Obrolan selesai diikuti dengan lagu yang barusan diputar oleh penyiar.

Malam semakin malam. Waktu semakin memutar dalam pikiran seorang anak. Bagaimana jika kesempatan tak pernah datang memberikannya waktu tentang bagaimana memberikan arti adil untuk orang lain?

Ini bukan tentang bagaimana cara mengelola uang dengan pembagian-pembagiannya. Ini tentang soal waktu, kesempatan, dan "bagaimana".